Presiden SBY beberapa hari yang lalu baru saja melakukan reshuffle kabinet. meski bukan reshuffle yang pertama. namun di reshuffle kali ini terlihat sekali tarik ulur parpol koalisi yang mempengaruhi keputusan SBY dalam melakukan pergantian atau reposisi menteri dalam kabinet. meski banyak yang mengatakan bahwa pergantian menteri merupakan hak prerogatif presiden, namun dalam kenyataan itu tidak bisa dikatakan 100% hak prerogatif presiden. bahkan sebelum melakukan reshuffle, ada "ancaman" dari salah satu parpol koalisi kalo ada menterinya dicopot akan menjadi oposisi. dan akhirnya reshuffle menjadi drama baru dalam pertelevisian dalam beberapa hari.
ketidaktegasan presiden dalam "memenangkan" koalisi dalam pemilihan menteri sangat jelas terlihat. presiden tidak berani mencopot menteri yang kinerjanya buruk dan diduga terindikasi korupsi di kementerian. mengapa? entahlah, apakah menteri-menteri tersebut merupakan ketum parpol sehingga tidak berani. hanya presiden yang tahu. setidaknya menteri yang sudah jelek di mata masyarakat harusnya dicopot.
pengangkatan jumlah wakil menteri yang dirasa amat banyak juga menjadi hal menarik untuk dilihat. jumlah wakil menteri membludak menjadi 17 wakil menteri. setidaknya setengah dari jumlah menteri yang ada. apakah wakil menteri ini memang dibutuhkan? atau sebenarnya imbas dari ketidaktegasan untuk mencopot menteri dari koalisi? entahlah, wakil menteri menjadi salah satu kecacatan dari reshuffle yang dilakukan presiden.
seharusnya presiden lebih memaksimalkan peran Direktorat Jenderal (Dirjen) daripada harus mengangkat menteri. Dirjen berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri. fungsi dirjen sendiri sudah sangat membantu kinerja menteri di kementerian seperti perumusan dan pelaksanaan kebijakan kementerian, pemberian bimbingan teknis dan evaluasi dan lainnya. dikhawatirkan, akan terjadi benturan antar dirjen dan wakil menteri. tugas wakil menteri belum dirumuskan secara jelas dan ditakutkan akan terjadi tumpang tindih tugas antar keduanya. yang terjadi bukannlah membantu menteri melaksanakan tugas dikementerian tetapi malah terdisenergi yang membuat kementerian tersendat melakukan kegiatannya. dan akhirnya rakyat yang menjadi korban untuk kesekian kalinya.
tarik ulur reshuffle seharusnya tidak terjadi, presiden bukan kali pertama melakukan reshuffle dan "katanya" posisi kuat dengan dukungan rakyat 60%. yang terjadi suara dukungan tersebut tidak berlaku karena partai koalisi pada "lapar" akan posisi dikabinet. mereka juga salah satu pendukung 60% dukungan tersebut. entah apakah politik balas budi menjadi etis sekarang jika mengaca apa terjadi pada "drama" reshuffle kemarin. semoga saja menteri yang terpilih dapat bekerja dengan maksimal dan tanpa campur tangan koalisi untuk meningkatkan kesehteraan umum yang sangat didambakan dinegeri ini. :)
ketidaktegasan presiden dalam "memenangkan" koalisi dalam pemilihan menteri sangat jelas terlihat. presiden tidak berani mencopot menteri yang kinerjanya buruk dan diduga terindikasi korupsi di kementerian. mengapa? entahlah, apakah menteri-menteri tersebut merupakan ketum parpol sehingga tidak berani. hanya presiden yang tahu. setidaknya menteri yang sudah jelek di mata masyarakat harusnya dicopot.
pengangkatan jumlah wakil menteri yang dirasa amat banyak juga menjadi hal menarik untuk dilihat. jumlah wakil menteri membludak menjadi 17 wakil menteri. setidaknya setengah dari jumlah menteri yang ada. apakah wakil menteri ini memang dibutuhkan? atau sebenarnya imbas dari ketidaktegasan untuk mencopot menteri dari koalisi? entahlah, wakil menteri menjadi salah satu kecacatan dari reshuffle yang dilakukan presiden.
seharusnya presiden lebih memaksimalkan peran Direktorat Jenderal (Dirjen) daripada harus mengangkat menteri. Dirjen berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri. fungsi dirjen sendiri sudah sangat membantu kinerja menteri di kementerian seperti perumusan dan pelaksanaan kebijakan kementerian, pemberian bimbingan teknis dan evaluasi dan lainnya. dikhawatirkan, akan terjadi benturan antar dirjen dan wakil menteri. tugas wakil menteri belum dirumuskan secara jelas dan ditakutkan akan terjadi tumpang tindih tugas antar keduanya. yang terjadi bukannlah membantu menteri melaksanakan tugas dikementerian tetapi malah terdisenergi yang membuat kementerian tersendat melakukan kegiatannya. dan akhirnya rakyat yang menjadi korban untuk kesekian kalinya.
tarik ulur reshuffle seharusnya tidak terjadi, presiden bukan kali pertama melakukan reshuffle dan "katanya" posisi kuat dengan dukungan rakyat 60%. yang terjadi suara dukungan tersebut tidak berlaku karena partai koalisi pada "lapar" akan posisi dikabinet. mereka juga salah satu pendukung 60% dukungan tersebut. entah apakah politik balas budi menjadi etis sekarang jika mengaca apa terjadi pada "drama" reshuffle kemarin. semoga saja menteri yang terpilih dapat bekerja dengan maksimal dan tanpa campur tangan koalisi untuk meningkatkan kesehteraan umum yang sangat didambakan dinegeri ini. :)